I Love You el

Hari masih pagi, tapi kehidupan di rumahku sudah bergeliat sejak sebelum subuh. Aroma air panas dan suara langkah kecil anak-anak sering kali jadi tanda bahwa hari sudah benar-benar dimulai.

“Abi datang! Abi datang!” teriak El, anak pertamaku, dengan wajah ceria yang langsung menghapus sisa kantuk di mataku.
Oh iya, aku punya dua anak. Si sulung bernama Mentariku El Jingga—kami biasa memanggilnya El—baru berusia tiga tahun. Adiknya, Lembayungku El Jingga, atau Ay, baru dua tahun. Dua cahaya kecil yang setiap hari membuat rumah sederhana kami terasa hidup dan penuh warna.

Seperti biasa, pagi itu aku bergegas ke pasar. Jaraknya tidak jauh, hanya sekitar lima menit berjalan kaki. Aku memang sengaja tidak naik motor. Selain dekat, sekalian saja berolahraga kecil sambil menikmati udara pagi Subang yang masih lembap dan segar.

Aku ke pasar bukan sekadar belanja kebutuhan rumah. Ada satu tugas penting yang harus kulakukan setiap hari: belanja bahan untuk usaha kecil kami, Bandeng Qu Counter, gerai makanan serba bandeng yang kami buka di Food Station Yogya Grand Subang. Meski usaha ini milik istriku, aku yang bertugas mencari bahan terbaik di pasar. Soal kualitas, aku tidak mau main-main—karena makanan yang baik selalu berawal dari bahan yang baik pula.

Biasanya, sepulang dari pasar, aku membawa sedikit jajanan untuk anak-anak. Entah itu onde-onde, apem, atau klepon kesukaan El. Tapi pagi itu aku datang agak siang, dan semua jajanan sudah habis. Setelah mencari ke beberapa lapak, aku hanya menemukan buah salak di sudut pasar. Tak ingin pulang dengan tangan kosong, aku membeli tiga buah saja.

Sesampainya di rumah, El sudah menungguku di depan pintu.
“Abi, mana jajanannya?” tanyanya dengan mata berbinar.
Aku menghela napas kecil dan tersenyum.
“Yah, jajanannya habis, El. Tapi gantinya Abi beliin salak,” kataku sambil menunjukkan bungkusan plastik putih kecil di tanganku.

Tanpa berpikir panjang, aku membuka bungkusan itu dan mengambil satu buah salak. “Makannya di rumah aja ya. Abi belinya cuma tiga, malu sama tetangga kalau nggak ngasih,” kataku sembari mengupas kulit salak.

El memperhatikan buah di tanganku, lalu menatap salak yang tersisa di plastik. Dengan polos tapi tegas, ia berkata,
“Kan ini ada dua lagi, Bi. Satu buat El sama ade, satu lagi buat De Fat.”

Aku tertegun.
Tanganku yang tadi memegang salak mendadak terasa kaku. Ada kehangatan yang tiba-tiba menggenang di dada.

Ternyata, tanpa kusadari, anak kecil berusia tiga tahun itu sudah memahami makna berbagi jauh lebih baik daripada aku.

Aku tersenyum, lalu mengelus kepalanya lembut. “Abi malu, El,” kataku pelan.

Di rumah sederhana kami pagi itu, tiga buah salak berubah menjadi pelajaran besar—bahwa berbagi tidak pernah ditentukan oleh banyaknya yang kita punya, tapi oleh luasnya hati yang kita miliki.




Posting Komentar

0 Komentar