Ketika Konten Melewati Batas: Catatan Brian Kamoed atas Kasus Resbob & Penghinaan terhadap Suku Sunda

 

Beberapa hari terakhir, linimasa ramai oleh satu nama: Resbob.
Seorang kreator konten yang ucapannya di sebuah live streaming berujung panjang—bukan cuma dihujat netizen, tapi juga berurusan dengan hukum, bahkan sampai drop out dari kampus.

Kasus ini bukan soal suka atau tidak suka pada sosoknya.
Bukan juga soal “netizen terlalu sensitif”.
Ini soal batas—batas antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat.

Dari Konten ke Konflik

Dalam potongan video yang viral, Resbob melontarkan kalimat yang jelas-jelas menghina Suku Sunda dan komunitas Viking Persib.
Bukan kritik.
Bukan satire yang cerdas.
Tapi penghinaan yang menyerang identitas kolektif.

Dan di Indonesia, kita semua tahu satu hal:
👉 Suku, agama, dan identitas bukan bahan candaan sembarangan.

Bukan karena kita anti kritik,
tapi karena sejarah bangsa ini terlalu mahal untuk dipertaruhkan hanya demi views, engagement, atau sensasi sesaat.

Kenapa Kasus Seperti Ini Bisa Terjadi?

Menurut saya, ada beberapa sebab yang saling berkaitan.

Pertama, ekonomi perhatian.
Di era digital, semakin ekstrem ucapan, semakin cepat viral. Banyak kreator (sadar atau tidak) terjebak pada logika:

“Yang penting rame dulu.”

Kedua, ilusi kebebasan digital.
Merasa aman di balik layar, lupa bahwa hukum tetap berlaku—baik di dunia nyata maupun digital.

Ketiga, rendahnya literasi etika digital.
Banyak yang jago bikin konten, tapi belum tentu paham dampak sosial dari kata-kata yang diucapkan.

Lalu, Soal Proses Hukum

Resbob dilaporkan ke polisi, dan kasusnya masuk ranah dugaan ujaran kebencian.
Menurut saya, ini langkah yang sah dan wajar.

Kenapa?
Karena hukum bukan untuk membungkam pendapat, tapi untuk melindungi masyarakat dari penghinaan berbasis identitas.

Kalau dibiarkan, pola ini akan berulang:

  • Hari ini Sunda

  • Besok bisa suku lain

  • Lusa agama

  • Lalu kelompok tertentu

Dan itu berbahaya bagi kohesi sosial.

Apakah DO dari Kampus Terlalu Keras?

Ini yang sering diperdebatkan.

Menurut saya pribadi: tidak.

Kampus bukan hanya tempat belajar akademik, tapi juga ruang pembentukan karakter dan nilai.
Ketika seorang mahasiswa secara terbuka melanggar prinsip toleransi dan keberagaman, kampus punya hak—bahkan kewajiban—untuk bersikap.

DO bukan berarti menghancurkan masa depan seseorang.
Tapi menjadi konsekuensi dari pilihan dan tindakan.

Kita sering lupa:
👉 kebebasan selalu datang bersama konsekuensi.

Pelajaran Penting untuk Kita Semua

Kasus ini harusnya jadi cermin, bukan sekadar tontonan.

Buat kreator:

  • Tidak semua yang viral itu layak

  • Tidak semua yang lucu menurut kita aman bagi publik

Buat netizen:

  • Kritik boleh, tapi jangan ikut-ikutan membenci

  • Jangan pula menghakimi berlebihan seolah kita paling benar

Dan buat kita sebagai bangsa:

  • Menjaga lisan (termasuk lisan digital) adalah bagian dari menjaga persatuan

Penutup

Saya tidak menulis ini untuk menghakimi Resbob sebagai pribadi.
Tapi untuk mengingatkan kita semua bahwa:

Di era digital, satu kalimat bisa jadi konten…
tapi juga bisa jadi perkara.

Semoga kasus ini jadi pelajaran bersama.
Agar ruang digital kita lebih dewasa, lebih beradab, dan tidak kehilangan rasa kemanusiaan.

Brian Kamoed

Posting Komentar

0 Komentar