Dan yang menarik, hampir di setiap pembahasannya, ada satu nama yang nggak pernah lepas: Tan Malaka.
Sejujurnya, saya ini cuma tau Tan Malaka dari buku sejarah waktu SD. Yang saya ingat cuma namanya nongol di daftar tokoh pergerakan dan… ya sudah. Nggak banyak.
Tapi karena terlalu sering dengar namanya disebut di Malaka Project, saya mulai kepo.
Saya mulai cari-cari, baca-baca, nonton video penjelasan sana-sini tentang siapa sebenarnya Tan Malaka dan apa sih yang bikin pemikirannya dianggap “mahal” oleh banyak orang.
Dan dari banyaknya informasi itu, ada satu hal yang bikin saya berhenti dan terpaku: MADILOG.
Entah kenapa, konsep MADILOG—Materialisme, Dialektika, Logika—bunyi namanya aja udah kayak tantangan buat otak. Tapi bukan itu yang bikin saya ketarik. Lebih ke ide dasar Tan: bahwa masyarakat harus belajar berpikir dengan cara yang rapi, rasional, dan tidak tenggelam dalam tahayul.
Semakin saya baca, semakin menarik. Dan lama-lama saya mulai membandingkannya dengan pemikiran yang saya kenal sejak kecil, yaitu cara pandang Islam.
Saya pengen tau, apakah dua hal ini bertabrakan? Apakah saling berseberangan? Atau jangan-jangan malah bisa saling ngasih sudut pandang baru?
Dan setelah saya gali lebih dalam, ternyata jawabannya nggak sesederhana hitam-putih.
Buat saya, Islam justru punya cara pandang yang menarik terhadap MADILOG.
Islam itu bukan agama anti-akal—malah berkali-kali ngajak kita mikir, merenung, dan membaca fenomena hidup dengan logis. Dalam hal ini, pemikiran Tan tentang logika dan anti-tahayul itu ketemu banget sama ajaran Islam.
Tapi ketika masuk ke “materialisme”-nya, Islam mulai bilang, “Eh, tunggu dulu.”
Buat Tan Malaka, realitas itu bisa dijelaskan sepenuhnya lewat materi dan hukum alam.
Sementara Islam bilang, “Betul, tapi nggak cukup.”
Buat Islam, realitas itu juga punya lapisan metafisik yang nggak bisa dipotong pakai pisau sains.
Dialektika juga begitu. Tan melihat perubahan sebagai hasil benturan dan kontradiksi. Islam setuju perubahan itu nyata—tapi Islam menolak kalau kontradiksi dijadikan satu-satunya mesin sejarah. Ada kehendak manusia, ada moral, dan ada kehendak Tuhan.
Sementara soal logika?
Islam dan Tan Malaka seperti langsung jabat tangan.
Logika itu sudah lama jadi alat para ulama buat memahami teks dan realitas.
Dan akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan sederhana:
MADILOG itu bukan “lawan” Islam. Bukan pula “kawan sepenuh hati.”
Tapi keduanya bisa saling ngobrol, saling kritik, dan saling isi.
Islam ngasih ruang pada akal, tapi tetap ngasih batas agar kita nggak lupa bahwa realitas lebih luas dari materi.
Sementara Tan Malaka ngasih kita cara berpikir yang lebih rapi, lebih kritis, dan lebih membumi.
Dua hal ini, kalau disandingkan, justru bisa bikin kita punya sudut pandang yang lebih lengkap:
akal jalan, iman tetap nyala.
Dan mungkin itu juga alasan kenapa sampai hari ini, MADILOG masih aja relevan dibahas—bahkan di YouTube oleh anak-anak muda. Karena dia bukan sekadar teori, tapi model berpikir yang menantang kita untuk nggak malas mikir.
Dan jujur, itu yang saya suka.

0 Komentar