Ayah

 




Ayah, Lebih dari Sekadar Pencari Nafkah

Oleh Brian Kamoed — 13 November 2025

Kadang saya berhenti sejenak melihat pemandangan yang sederhana tapi sering terlupakan: ayah yang pulang larut malam, duduk di sudut ruang tamu, menatap televisi tapi matanya kosong. Kita mudah menilai bahwa ayah itu hadir — karena dia ada fisiknya. Padahal, hadir itu bukan hanya soal jarak fisik.

Telah lama tradisi memosisikan ayah sebagai "pencari nafkah utama". Label itu tidak salah, karena nafkah memang bagian penting dari tanggung jawab. Tapi jika peran ayah hanya disempitkan sampai ke situ, maka rumah berisiko kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga: kehadiran emosional.

Kehadiran ayah tidak selalu terlihat. Seringkali ia terasa lewat tawa saat makan bersama, lewat cerita sebelum tidur, atau lewat kesabaran saat anak belajar jatuh-bangun.

Ayah yang hadir adalah ayah yang menjadi kompas bagi keluarga. Dia menanamkan nilai bahwa kerja keras itu penting, tapi kasih sayang dan kehangatan adalah landasan. Anak laki-laki butuh contoh bagaimana menjadi laki-laki yang bertanggung jawab; anak perempuan butuh gambaran bagaimana dihormati oleh laki-laki di sekitarnya. Itu semua dimulai dari rumah.

Selain jadi teladan, ayah juga guru pertama — bukan sekadar mengajari anak cara mengikat tali sepatu atau menghitung pelajaran matematika, tapi mengajarkan etika, empati, dan tanggung jawab. Percakapan sederhana di meja makan seringkali jadi kelas paling efektif. Dan pelajaran itu bukan hanya untuk anak. Istri, tetangga, dan komunitas juga membaca cara seorang ayah bertingkah: dia mengajarkan masyarakat lewat tindakan kecil yang konsisten.

Di level yang lebih luas, rumah adalah laboratorium moral bagi bangsa. Jika di rumah nilai-nilai kebangsaan, kejujuran, dan rasa tanggung jawab tidak diajarkan, bagaimana kita berharap negara ini dipimpin oleh generasi yang bermoral? Maka peran ayah bukan hanya urusan rumah tangga — itu juga investasi jangka panjang untuk peradaban.

Praktisnya, bagaimana bentuk kehadiran ayah itu? Tidak selalu membutuhkan aksi besar. Beberapa hal sederhana yang punya dampak besar:

  • Menempatkan gadget sebentar dan betul-betul mendengarkan saat anak bercerita.
  • Ikut terlibat dalam rutinitas rumah, dari mengantar anak sekolah sampai bantu cuci piring sesekali.
  • Mengakui kesalahan dan meminta maaf di depan anak — itu mengajarkan keberanian moral.
  • Memberi waktu berkualitas, bukan sekadar kuantitas; hadir secara mental sama pentingnya dengan hadir secara fisik.

Tentu, saya paham bahwa tidak semua ayah punya pilihan mudah. Tekanan ekonomi, jam kerja panjang, dan tanggung jawab lain bisa jadi penghalang. Tetapi kehadiran emosional sering kali bisa dijalankan lewat ritme kecil yang konsisten. Bukan soal sempurna, tapi soal mau dan berusaha.

Jadi, untuk para ayah di luar sana — tidak perlu jadi sempurna. Cukup berani membuka waktu, menurunkan ego, dan menjadi bagian dari cerita rumah. Keberadaanmu tidak hanya mengisi pundi-pundi keluarga; lebih dari itu, keberadaanmu membentuk karakter generasi yang akan datang.

Ayah bukan sekadar pencari nafkah. Ayah adalah penenang, penuntun, dan penanam nilai. Hadirlah — karena kehadiranmu adalah warisan terpenting yang bisa kamu tinggalkan.

Kalau kamu suka tulisan ini, bagikan ke teman ayahmu — atau ke ayah sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar