Beberapa waktu belakangan, kita sering disuguhi berita-berita soal kekerasan di sekolah. Ada yang berantem sampai babak belur, ada yang bawa senjata, ada juga yang nekat melakukan percobaan berbahaya. Kita baca, kaget, lalu membahasnya di kolom komentar—seperti biasa. Tapi saya ingin ngajak kamu lihat dari sisi lain: bukan cuma hasil akhirnya, tapi proses panjang yang biasanya nggak kita perhatikan.
Remaja yang melakukan tindakan ekstrem jarang pernah memilihnya secara tiba-tiba. Selalu ada lapisan-lapisan kecil: olokan, sunyi, kelelahan batin—yang lama-lama menumpuk sampai titik jenuh. Dan ketika titik itu tercapai, ledakan itu bukan cuma fisik. Kadang ledakan itu adalah pilihan hidup yang keliru, yang menyakitkan banyak pihak.
Dunia mereka terasa semakin sempit
Bayangkan sekolah yang seharusnya jadi tempat belajar jadi seperti gelanggang. Sering ada bullying yang ditolerir, ada senioritas yang kebablasan, ada guru yang bersikap acuh—semua itu menyisakan bekas. Kalau setiap hari kamu masuk ke tempat yang membuatmu merasa kecil, lama-lama identitasmu pun tergerus.
Dan pulang ke rumah bukan selalu berarti pulang ke ruang aman. Banyak rumah yang penuh orang tapi kosong percakapan bermakna. Orang tua hadir secara fisik, tapi tidak hadir secara emosi. Anak butuh didengar, bukan sekadar dinasehati. Ketika tempat paling dasar buat manusia—rumah—gagal memberi rasa aman, remaja mencari pengganti. Seringkali mereka menemukan pengganti itu di dunia digital.
Internet: guru, teman, dan juga jebakan
Pergi ke internet dan kamu akan menemukan dua sisi: ada komunitas yang sehat, tapi ada juga sudut-sudut gelap yang memuliakan kekerasan. Anak yang kesepian cenderung mudah terjerumus ke ruang yang memvalidasi rasa marahnya. Di ruang itu, amarah dipuja, sensasi dipuji, dan tindakan ekstrem dijadikan jalan keluarnya.
Remaja yang kesepian, tertekan, dan tidak merasa berharga—ketika menemukan komunitas yang memvalidasi amarahnya—mudah sekali terprovokasi.
Akar masalahnya sederhana, tapi pahit
Apa yang membuat kondisi ini bisa terjadi? Intinya: kita sedang membiarkan anak-anak hidup di sistem yang kurang manusiawi. Sekolah sibuk dengan angka dan ranking. Orang tua sibuk dengan kerja dan nafkah. Internet sibuk dengan atensi. Anak jadi sibuk bertahan.
Kalau lingkungan sekitar membuat ruang hidup anak merasa sempit—penuh tekanan, pengabaian, dan isolasi—tidak mengherankan kalau beberapa di antara mereka akhirnya memilih cara ekstrem untuk menyalurkan perasaan yang tak tertangani.
Solusi yang nyata: bukan cuma CCTV dan aturan tambahan
Menambah CCTV penting. Tapi itu hanya menutup luka luar. Kalau kita mau menyentuh akar, ada beberapa hal sederhana yang bisa mulai dilakukan hari ini:
- Hadir dengan hati. Orang tua nggak perlu jadi sempurna, tapi perlu tersedia. Tanyakan, dengarkan, biarkan anak bercerita tanpa takut dihakimi.
- Sekolah sebagai ruang aman emosional. Latih guru untuk deteksi dini, perbaiki tata kelola kasus bullying, dan sediakan konselor yang berkualitas.
- Literasi digital yang nyata. Bukan sekadar ceramah 30 menit di assembly—tapi dialog berkelanjutan tentang komunitas sehat, bahaya grup gelap, dan cara merawat kesehatan mental online.
- Buat ruang bicara untuk remaja. Mereka butuh tempat untuk mengekspresikan rasa kecewa, gagal, atau takut. Kadang cukup didengar untuk tidak merasa sendirian.
- Prioritaskan kesehatan mental secara kolektif. Ini bukan urusan pribadi semata—sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bersinergi.
Kekerasan bukan terjadi begitu saja. Ia berawal dari retakan-retakan kecil yang kita biarkan tumbuh: ketidakpedulian, tekanan, kesepian, dan kurangnya ruang aman. Kalau kita ingin mencegah peristiwa-peristiwa menyakitkan di masa depan, mulailah dari hal paling sederhana: jadi manusia yang peduli satu sama lain.
Orang-orang muda kita hanya menanyakan satu hal sederhana: "Ada nggak sih orang yang benar-benar peduli sama aku?" Jawaban yang tulus dari pertanyaan itu bisa menyelamatkan banyak hal.

0 Komentar