Kakek dan Kemacetan

Hari Senin, 17 November 2025.
Seperti biasa saya bersiap berangkat beraktivitas, tapi ada satu hal yang berubah beberapa hari ini: jalan utama di depan Gedung CADIKA Subang sedang diperbaiki. Jalan ditutup total. Mau tidak mau, semua orang harus memutar lewat gang-gang kecil sebagai jalan alternatif.

Di salah satu jalan itu—wilayah Bumi Sari—setiap hari saya melewatinya. Jalan kecil, padat penduduk, dan biasanya cukup sepi. Tapi karena perbaikan jalan, jalur itu tiba-tiba jadi ramai luar biasa. Motor, mobil, pejalan kaki, semua berdesakan lewat satu lajur kecil.

Di tengah keramaian itu, saya selalu melihat satu sosok yang menarik perhatian.

Seorang kakek, mungkin usianya sudah lebih dari 70 tahun. Rambutnya gondrong, putih semua karena uban. Penampilannya agak nyentrik, tapi justru itu yang bikin saya selalu melirik. Kalau orang lain mungkin risih melihat kampungnya jadi ramai dan bising, kakek ini malah hadir seperti “tuan rumah”.

Setiap pagi dia berdiri di pinggir jalan, mengatur kendaraan yang saling tunggu. Tangannya melambai memberi aba-aba:
“Silakan dulu… Hati-hati… Pelan-pelan…”

Tidak ada yang meminta.
Tidak ada yang menggaji.
Tidak ada yang memaksa.

Dia hanya… hadir.
Dan bermanfaat.

Di situ saya langsung keinget satu hadis yang sering banget saya dengar sejak kecil:

> **“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”**

Dan saya melihat hadis itu hidup, menjelma dalam sosok seorang kakek gondrong beruban di gang sempit Bumi Sari.

Kadang kita berpikir untuk bisa bermanfaat itu butuh sesuatu yang besar.
Butuh jabatan.
Butuh modal besar.
Butuh platform besar.
Butuh momen besar.

Padahal, kadang yang dibutuhkan hanya *hadir* dan mau melakukan hal kecil dengan hati besar.

Kakek itu menolak untuk menjadi “penonton” dalam hidupnya. Ia tidak mau lewat harinya tanpa manfaat. Bahkan ketika keadaan tiba-tiba berubah—jalan jadi ramai, bising, sumpek—dia melihat peluang untuk berbuat baik.

Dia bisa saja kesal.
Banyak orang lain mungkin sudah marah-marah.
Tapi dia memilih versi terbaik dari dirinya.

Saya belajar sesuatu hari itu:
Tidak semua orang diberi kesempatan melakukan hal besar, tapi setiap orang pasti diberi kesempatan melakukan hal kecil yang berdampak.

Dan kakek itu memilih memanfaatkannya.

Kadang kita lupa, manfaat itu tidak diukur dari besar kecilnya tindakan, tapi dari ketulusan niat dan keberanian untuk berbuat. Bahkan sekadar melambai tangan mengatur kendaraan, membuat orang lain lewat lebih aman, lebih lancar… itu pun ibadah.

Kita tidak tahu berapa banyak orang yang terbantu karena keberadaannya.
Tidak tahu berapa banyak risiko kecelakaan yang ia cegah.
Tidak tahu berapa banyak senyum yang ia hadirkan.

Tapi yang jelas, di tengah gang sempit itu, saya melihat seorang manusia yang memilih menjadi sebaik-baiknya manusia: yang bermanfaat.

Dan saya pulang dengan satu pertanyaan menggantung di kepala:

Kalau seorang kakek 70-an tahun bisa bermanfaat setiap hari, apa alasan saya untuk tidak berbuat baik hari ini?**

---

Brian Kamoed

Posting Komentar

0 Komentar