Krisis Sunyi: Cerita Tentang Suara yang Perlahan Menghilang



Saya masih ingat malam itu—akhir Agustus 2025—ketika timeline X tiba-tiba terasa gelap. Bukan karena lampu padam, tapi karena semua orang ngomongin satu hal: #IndonesiaGelap. Video demi video muncul: teriakan, gas air mata, lampu jalan berpendar di balik kabut putih. Saya duduk, menatap layar, lalu geleng-geleng. Rasanya seperti nonton ulang bab gelap di buku sejarah yang tak pernah kita inginkan kembali.


Tapi yang bikin saya merinding bukan sekadar videonya. Melainkan sunyi yang menyusul setelahnya.

Beberapa hari kemudian kabar orang hilang bermunculan. Nama-nama lalu bertambah—mahasiswa, buruh, ojol. Ada yang terakhir terlihat lari dari kejaran aparat, ada yang pamit “ikut demo sebentar” lalu tak pulang. Kabar paling menggetarkan: dua kerangka ditemukan di gedung ACC Kwitang.

Saya baca berita itu sambil menahan napas. Bukan hanya sedih, tapi mulai paham: ketika suara itu tidak sekadar dibungkam—melainkan dihilangkan—yang tersisa adalah sunyi yang tajam.


Waktu itu ada sebuah thread viral: montage video kekerasan aparat dengan caption, “Indonesia sedang memasuki Krisis Sunyi. Suara rakyat hilang satu per satu.” Ribuan orang marah, ribuan komentar bermunculan. Ironisnya, di tengah keributan itu saya merasakan sesuatu yang lain: semakin sunyi.

Bayangkan, kita semua meneriakkan kebenaran di ruangan besar, tapi pintu terkunci, jendela ditutup, dan suara kita memantul kembali ke wajah sendiri. Ada rasa takut yang mulai menjalar—takut ngomong, takut repost, takut berpikir keras tentang masa depan.


Krisis Sunyi bukan semata soal jumlah korban. Itu hanya puncak gunung es. Di bawahnya ada lapisan yang lebih tebal: represi terstruktur, kriminalisasi aktivis, politik identitas yang memecah, serta ketimpangan ekonomi yang membuat amarah publik semakin pekat.

Ada ibu yang diwawancara bilang, “Saya cuma ingin anak saya pulang. Hidup atau mati, kasih tahu saya.” Kalimat itu terus terngiang. Bagaimana mungkin sebuah negara membiarkan seorang ibu bertanya seperti itu kepada negara sendiri?


Sejak itu saya percaya: demokrasi tidak mati karena perang besar. Ia mati perlahan—setiap kali suara kecil dipaksa diam. Kita berisik, tapi hati kita pelan-pelan menjadi senyap. Ruang kritik menyempit, media memilih aman, dan masyarakat belajar menahan diri.

Tapi saya juga percaya satu hal sederhana: selama masih ada orang yang mau bicara, mau menulis, dan mau mendengarkan—kita belum benar-benar sunyi.

Jika suatu hari suaramu terasa hilang, ingat: ada yang siap mendengar. Tulis ceritamu, bagikan kenanganmu, dan jangan biarkan sunyi menang.

Kalau kamu punya pengalaman dari demo 2025, atau pendapat tentang situasi sekarang, tulis di kolom komentar. Biar suara kita nggak hilang begitu saja.

— Brian Kamoed

Posting Komentar

0 Komentar