Rating vs Kemanusiaan

Kadang dunia digital ini terasa seperti panggung sandiwara yang terlalu sensitif. Saya,  cuma bisa geleng-geleng kepala melihat bagaimana *rating* dan citra perusahaan mendadak lebih berharga daripada manusia yang bekerja di dalamnya. Rasanya seperti hidup di zaman ketika satu postingan viral bisa lebih kuat dari surat keputusan direksi.

Kasus tumbler hilang itu jadi contoh paling telanjang. Anita hanya membagikan pengalaman sederhana: tumblernya hilang di KRL, ia melapor, ada catatan dari pihak KAI, dan ia merasa perlu mengabarkan — ya, sebagaimana penumpang lain pun akan melakukan hal yang sama. Ini hal manusiawi: kehilangan barang, bertanya, memastikan, lalu curhat di media sosial. Tidak ada niat menjatuhkan siapa pun, apalagi merusak reputasi perusahaan besar.

Tapi begitu unggahannya viral, dunia mendadak berubah tegang. Ada rumor pegawai KAI dipecat, ada tekanan publik, ada opini yang saling bersahutan. Tiba-tiba langkah-langkah cepat diambil hanya supaya citra perusahaan terlihat “responsif”. Padahal, seharusnya SOP berbicara duluan, baru keputusan diambil. Bukan sebaliknya.

Yang lebih menyakitkan lagi: justru Anita — orang yang kehilangan barang dan melapor secara wajar — ikut menjadi korban. Perusahaan tempat ia bekerja memutus hubungan kerja karena khawatir reputasi mereka ikut terciprat. Di titik ini, rasanya logika sudah tidak lagi duduk di kursi kemudi. Yang memegang setir adalah ketakutan pada rating, trending, dan opini publik yang tidak selalu menimbang fakta.

Kisah ini menunjukkan kecenderungan baru yang cukup mengkhawatirkan: perusahaan semakin takut pada badai warganet, tapi kurang takut pada ketidakadilan di dalam sistem mereka sendiri. Padahal kita bicara tentang manusia yang punya keluarga, penghasilan, masa depan. Mengorbankan mereka hanya supaya grafik reputasi tetap stabil adalah tanda bahwa ada yang salah arah.

Tumbler hilang bisa diganti. Reputasi bisa dipulihkan. Tapi rasa aman karyawan — bahwa mereka tidak akan dijadikan tumbal ketika perusahaan panik — itu yang seharusnya dilindungi. Kalau setiap viral berakhir dengan pemecatan, lalu apa gunanya SOP, prosedur, dan nilai perusahaan yang katanya “berorientasi pada manusia”?

Kejadian ini bukan cuma cerita tentang tumbler. Ini alarm bahwa sistem harus lebih berani membela kebenaran, bukan sekadar menjaga citra. Dunia kerja seharusnya berdiri di atas keadilan, bukan ketakutan. Dari kisah kecil ini, kita seperti diingatkan untuk kembali bertanya: masa depan seperti apa yang sedang kita bangun kalau manusia lebih mudah dibuang daripada reputasi digital?

--
Brian Kamoed

Posting Komentar

0 Komentar